CERPEN | THE LAST AUTUMN



THE LAST AUTUMN

Pohon-pohon yang berjajar rapi itu terdiam membisu. Daun-daunnya yang berwarna kemerahan berjatuhan ke tanah. Menutupi kedua sisi jalan dengan warna merahnya yang serupa darah.
 Lengang... Sepi... Senyap... Hanya tersisa suara hembusan angin yang bertiup resah diantara ranting-ranting yang mulai patah. Keheningan yang mencekat mengambang di udara. Begitu pula aroma musim gugur yang menggoda.
Tak ada tanda-tanda kehidupan manusia di sekitar sana. Namun sebuah suara tiba-tiba terdengar. KRAKK... Suara dari cabang ranting yang patah terinjak. Juga suara daun-daun kering berguguran yang hancur.
Sepasang mata sendu menatap langit yang muram dari bawah naungan pohon mapel yang rindang. Dibawah naungan daun keemasannya, sebuah wajah mungil menatap ke angkasa lepas. Awan-awan putih bergulung-gulung bagaikan domba yang merumput di padang yang luas, tanpa penggembala, tanpa anjing penjaga. Bebas berlarian di birunya cakrawala.
Gadis kecil itu menghela napas begitu dalam sambil menunjukkan ekspresi gundah.
“Apa yang kau takutkan, wahai gadis kecil?” tanya ruput kering.
“Aku takut pada musim dingin,” jawabnya.
“Mengapa kau takut pada musim dingin? Bukankah musim dingin itu menyenagkan? Kau bisa bermain salju sepuasnya, berseluncur di lereng bukit dengan teman-teman atau membuat boneka salju gembira.” Kata pohon mapel bijak.
“Aku juga membenci musim semi,” sahut gadis itu dengan nada muram.
“Mengapa kau juga benci pada musim semi?” tanya daun kemerahan. “Bukankah musim semi itu indah? Kau bisa melihat bunga-bunga bermekaran. Mencium semerbak wanginya yang memenuhi udara. Juga suara burung yang berkicau riang. Serta kupu-kupu yang beterbangan memamerkan sayapnya yang menawan.
“Aku kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupku pada musim semi. Dan aku akan kehilangan satu lagi di musim dingin.” Jawab gadis itu. “Wahai daun, kenapa kau tak pernah membenci angin yang sudah merenggutmu dari ranting sang pohon? Mengapa kau rela, dan mengikhlaskam semua?”
Gadis itu menghela napas sejenak lalu melanjutkan, “Wahai pohon dan rumput, tak pernahkah kalian membenci musim yang mengubah buah segarmu menjadi busuk atau membuat warna hijaumu berubah mengering?”
“Tentu saja tidak.” Jawab mereka bertiga serempak.
Sang daun berkata, “Aku mungkin tak akan pernah bisa kembali bersama pohonku tercinta, namun angin yang berhembus meniupku terbang melihat sisi lain dunia yang tak dapat kulihat dari tempatku semula. Walau terkadang itu hanya sejenak. Angin juga mendekatkanku pada temanku yang lain, tanah.”
Sementara sang pohon menjawab, “Bahkan jika musim mengambil kesegaran buahku, aku akan mendapatkan buah yang baru pada musim berikutnya.”
Sedang sang rumput berkata, “Seperti halnya manusia yang berjemur dipantai, musim membantuku menciptakan warna baru kecoklatan yang eksotis pada kulitku.”
Gadis itu terdiam. Dia membiarkan kedua matanya yang sayu terpejam. Kepakan sayap-sayap burung yang terbang bermigrasi terdengar diatas sana. Angin kembali meniupkan hawa dingin yang menusuk hingga ketulang. Beberapa daun kembali berjatuhan dari pohonnya. Beberapa ranting patah berjatuhan ke tanah. Musim gugur mulai berlalu. Dan musim dingin akan segera tiba. Menghantarkan butiran salju putih yang pertama. UK

amelia

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar