[ARTIKEL] HAM DAN TINDAK KEKERASAN DI SEKOLAH | AMELIA




HAM  DAN  TINDAK KEKERASAN DI SEKOLAH 
Hasil gambar untuk animasi tindak kekerasan oleh guru

Pada artikel sebelumnya saya telah membahas tentang pelanggaran HAM dan kali ini saya akan membahas tentang salah satu jenis pelanggaran HAM yang mungkin sering kali kita saksikan. Yaitu tetang tindak kekerasan. Benar, tindak kekerasan adalah salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sayangnya masih sering kita jumpai di sekitar kita. Tindak kekerasan hampir terjadi disegala aspek kehidupan bermasyarakat tak terkecuali di lingkungan sekolah.  Hal ini sangatlah disayangkan, karena sekolah seharusnya merupakan tempat bagi pelajar untuk menuntut ilmu, dan mengembangkan bakat sesuai kemampuannya. Akan tetapi nyatanya, sekolah justru dianggap tempat yang menakutkan bagi sebagian orang. Mereka mengganggap sekolah layaknya penjara. Karena banyak hal yang membuat mereka merasa terancam dan tidak nyaman ketika berada di lingkungan sekolah. Mulai dari bullying yang dilakukan teman-teman sekelas atau para senior sampai tindak kekerasan yang dilakukan oleh dewan guru. Hal itu harus dihadapi oleh beberapa pelajar hampir setiap harinya.
Guru yang merupakan sosok yang seharusnya menjadi sosok panutan terkadang justru bersikap semena-mena karena menganggap dirinya lebih berpengetahuan. Beberapa oknum guru terkadang bersikap seenaknya hanya karena memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari siswa. Mereka memaksa siswa untuk menguasai kurang lebih 20 mata pelajaran yang diajarkan sekolah. Mereka menuntut siswa bersaing hanya untuk suatu nilai. Padahal setiap anak sejatinya pandai dan memiliki keunggulannya masing-masing. Namun ada kalanya kreatifitas siswa biasanya dibatasi dan dikotak-kotakkan. Mengakibatkan mereka ragu untuk berekspresi dan mengungkapkan pendapatnya.  Dan menumbuhkan sikap rendah diri dan pengecut dalam jiwa mereka.

 Hasil gambar untuk animasi tindak kekerasan oleh guru

Bahkan ada beberapa oknum pengajar yang tak segan mencemooh dan menghina siswa dengan sebutan “bodoh”, “bebal”, “tidak berguna”, dan lain sebagainya. Beberapa bahkan tak segan menggunakan kekerasan apabila siswa tidak memenuhi standar yang ia harapkan. Hal ini tentunya menjadi momok bagi para remaja dan anak-anak terhadap kata sekolah. Mereka beranggapan bahwa kata belajar dan sekolah memiliki kolerasi dengan suara teriakan dan makian guru serta pukulan dan segala bentuk kekerasan lainnya.
Contoh kasus yang terjadi di sekolah M, seorang siswa tak sengaja menyenggol sepeda motor yang di miliki seorang guru berinisial H dan mengakibatkan lock scurity sistem-nya berbunyi. Kemudian sang guru yang gusar tak ragu memukul dan menampar si murid di depan anak-anak lain di halaman sekolah. Atau kasus lain di mana karena tidak mengerjakan PR seorang siswa diberi hukuman untuk lari mengelilingi lapangan futsal sebanyak 50 kali.
Kasus pelanggaran seperti di atas sangatlah disayangkan terjadi di dunia pendidikan kita. Sekolah sejatinya tempat bagi anak mengembangkan potensi dirinya. Akan tetapi tindak kekersan seperti di atas memang tak dapat dipungkiri masih terjadi dalam sistem pendidikan kita.
Oleh sebab itu, Mendikbud telah mengeluarkan beberapa aturan yang salah satu contohnya adalah: Permendikbud  no.28 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan dilingkungan satuan pendidikan. Peraturan ini tentunya menjadi angin segar untuk dunia pendidikan kita. Akan tetapi setelah permasalahan satu mulai mereda, permasalahan lainnya ikut menyusul.
Karena oknum guru sudah tidak dapat memberikan hukuman atau tindakan yang berlebihan ketika murid melanggar peraturan, hal ini di manfaatkan beberapa oknum siswa dengan seenaknya melanggar peraturan sekolah. Mereka beranggapan “Toh, walau saya melanggar, guru nggak akan berani ngapa-ngapain saya karena ada aturannya. Paling Cuma diomelin doang.” Mereka menjadi menyepelekan dan menganggap enteng melanggar peraturan sekolah.
. Dan peraturan yang ada di jadikan sebagai ajang balas dendam. Bukan hanya melanggar peraturan sekolah, sebagian oknum siswa juga melakukan tindak kekerasan terhadap guru. Mereka menyepelekan semua poin pelanggaran dan tidak lagi memilki rasa takut untuk melanggar peraturan. Karena hukuman yang mereka dapatkan tak memberikan efek jera.
Kondisi ini sangatlah mengkhawatirkan jika terus terjadi dalam sistem pendidikan siswa. Bukan lagi generasi yang memiliki jiwa kerdil akan tetapi generasi yang berjiwa anarkis dan berorientasi kekerasan. Anak-anak kita memang tidak seharusnya tumbuh dalam ketakutan. Akan tetapi itu bukan berarti anak-anak kita harus hidup di dunia yang bebas tanpa aturan. Perlu ada penanganan lebih lanjut oleh pihak sekolah dan pemerintah untuk memperbaiki kebobrokan sistem pelaksanaan pendidikan negeri ini.

L.A

amelia

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar