HAM
DAN TINDAK KEKERASAN DI SEKOLAH
Pada artikel sebelumnya
saya telah membahas tentang pelanggaran HAM dan kali ini saya akan membahas
tentang salah satu jenis pelanggaran HAM yang mungkin sering kali kita
saksikan. Yaitu tetang tindak kekerasan. Benar, tindak kekerasan adalah salah
satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sayangnya masih sering kita
jumpai di sekitar kita. Tindak kekerasan hampir terjadi disegala aspek
kehidupan bermasyarakat tak terkecuali di lingkungan sekolah. Hal ini sangatlah disayangkan, karena sekolah
seharusnya merupakan tempat bagi pelajar untuk menuntut ilmu, dan mengembangkan
bakat sesuai kemampuannya. Akan tetapi nyatanya, sekolah justru dianggap tempat
yang menakutkan bagi sebagian orang. Mereka mengganggap sekolah layaknya
penjara. Karena banyak hal yang membuat mereka merasa terancam dan tidak nyaman
ketika berada di lingkungan sekolah. Mulai dari bullying yang dilakukan
teman-teman sekelas atau para senior sampai tindak kekerasan yang dilakukan
oleh dewan guru. Hal itu harus dihadapi oleh beberapa pelajar hampir setiap
harinya.
Guru yang merupakan
sosok yang seharusnya menjadi sosok panutan terkadang justru bersikap
semena-mena karena menganggap dirinya lebih berpengetahuan. Beberapa oknum guru
terkadang bersikap seenaknya hanya karena memiliki kedudukan yang lebih tinggi
dari siswa. Mereka memaksa siswa untuk menguasai kurang lebih 20 mata pelajaran
yang diajarkan sekolah. Mereka menuntut siswa bersaing hanya untuk suatu nilai.
Padahal setiap anak sejatinya pandai dan memiliki keunggulannya masing-masing.
Namun ada kalanya kreatifitas siswa biasanya dibatasi dan dikotak-kotakkan.
Mengakibatkan mereka ragu untuk berekspresi dan mengungkapkan pendapatnya. Dan menumbuhkan sikap rendah diri dan
pengecut dalam jiwa mereka.

Bahkan ada beberapa
oknum pengajar yang tak segan mencemooh dan menghina siswa dengan sebutan
“bodoh”, “bebal”, “tidak berguna”, dan lain sebagainya. Beberapa bahkan tak
segan menggunakan kekerasan apabila siswa tidak memenuhi standar yang ia harapkan.
Hal ini tentunya menjadi momok bagi para remaja dan anak-anak terhadap kata
sekolah. Mereka beranggapan bahwa kata belajar dan sekolah memiliki kolerasi
dengan suara teriakan dan makian guru serta pukulan dan segala bentuk kekerasan
lainnya.
Contoh kasus yang
terjadi di sekolah M, seorang siswa tak sengaja menyenggol sepeda motor yang di
miliki seorang guru berinisial H dan mengakibatkan lock scurity sistem-nya
berbunyi. Kemudian sang guru yang gusar tak ragu memukul dan menampar si murid
di depan anak-anak lain di halaman sekolah. Atau kasus lain di mana karena
tidak mengerjakan PR seorang siswa diberi hukuman untuk lari mengelilingi
lapangan futsal sebanyak 50 kali.
Kasus pelanggaran
seperti di atas sangatlah disayangkan terjadi di dunia pendidikan kita. Sekolah
sejatinya tempat bagi anak mengembangkan potensi dirinya. Akan tetapi tindak
kekersan seperti di atas memang tak dapat dipungkiri masih terjadi dalam sistem
pendidikan kita.
Oleh sebab itu,
Mendikbud telah mengeluarkan beberapa aturan yang salah satu contohnya adalah:
Permendikbud no.28 tahun 2015 tentang
pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan dilingkungan satuan pendidikan.
Peraturan ini tentunya menjadi angin segar untuk dunia pendidikan kita. Akan
tetapi setelah permasalahan satu mulai mereda, permasalahan lainnya ikut
menyusul.
Karena oknum guru sudah
tidak dapat memberikan hukuman atau tindakan yang berlebihan ketika murid
melanggar peraturan, hal ini di manfaatkan beberapa oknum siswa dengan
seenaknya melanggar peraturan sekolah. Mereka beranggapan “Toh, walau saya
melanggar, guru nggak akan berani ngapa-ngapain saya karena ada aturannya.
Paling Cuma diomelin doang.” Mereka menjadi menyepelekan dan menganggap enteng
melanggar peraturan sekolah.
. Dan peraturan yang
ada di jadikan sebagai ajang balas dendam. Bukan hanya melanggar peraturan
sekolah, sebagian oknum siswa juga melakukan tindak kekerasan terhadap guru.
Mereka menyepelekan semua poin pelanggaran dan tidak lagi memilki rasa takut
untuk melanggar peraturan. Karena hukuman yang mereka dapatkan tak memberikan
efek jera.
Kondisi ini sangatlah
mengkhawatirkan jika terus terjadi dalam sistem pendidikan siswa. Bukan lagi generasi
yang memiliki jiwa kerdil akan tetapi generasi yang berjiwa anarkis dan
berorientasi kekerasan. Anak-anak kita memang tidak seharusnya tumbuh dalam
ketakutan. Akan tetapi itu bukan berarti anak-anak kita harus hidup di dunia
yang bebas tanpa aturan. Perlu ada penanganan lebih lanjut oleh pihak sekolah
dan pemerintah untuk memperbaiki kebobrokan sistem pelaksanaan pendidikan
negeri ini.
L.A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar