LODING LAMA: SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB
DIBALIK LEMOTNYA PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA?
Indonesia merupakan negara hukum.
Seperti yang tercantumkan dalam UUD ’45 Bab I pasal 1 ayat 3 tentang bentuk dan
kedaulatan negara. Namun ada satu hal
yang amat disayangkan terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia, yaitu tentang
lemotnya para penegak hukum meyelesaikan
kasus pelanggaran hukum yang ada di masyarakat. Seringkali kita jumpai, banyak
kasus kejahatan akhirnya menjadi kasus beku dan tidak terselesaikan karena
proses penyelidikan yang terlalu panjang. Memang benar dalam menyelidiki
diperlukan kehati-hatian agar tidak terjadi salah tangkap yang justru merugikan
orang yang tak bersalah, tapi jika proses penyelidikannya terlalu lemot,
tersangka sebenarnya keburu kabur, dong.
Entah karena apa, penyidik baik
dari pihak kepoisian maupun kejaksaan seringkali membuat proses penyelidikan
terkesan lama dan tak kunjung selesai. Mulai dari alasan kurangnya barang
bukti, lah. Tak adanya saksi, lah, ataupun yang lainnya. Apa ada kesalahan dari
pihak tim forensik dan penyidik kepolisian yang tidak cakap dalam meneliti
bukti di lapangan atau justru karena ada pihak dalam yang mencoba menyembunyikan
barang bukti yang sudah didapatkan? Hal seperti ini sebaiknya patut dicurigai.
Kenapa, sih penyidik di negeri kita tercinta sering molor dalam menyelesaikan
tugasnya. Contohnya yang masih sering kita saksikan di stasiun berita di TV
adalah tentang penyerangan penyidik KPK Novel Baswedan yang sudah 10 berlalu namun
penyelidikannya masih saja belum menemui titik terang. Atau juga tentang kasus
EKTP. Pengadilan kasus itu masih saja berlarut-larut dan tak kunjung selesai.
Belum ada kepastian bagaimana penanggung jawaban kasus tersebut pada akhirnya.
Apakah setelah kasusnya selesai disidang, berarti pertanggung jawabannya akan
segera dipenuhi?
Jam karet, alias mengulur-ulur
waktu sepertinya sudah sangat mengakar di kebiasaan masyarakat Indonesia.
Sehingga dalam menyelidikan kasus pun kebiasaan ini juga ikut terbawa.Tapi
bukan hanya penegak hukum saja yang perlu dikritisi, masyarakat yang tidak
peduli sepertinya justru menjadi faktor utama pendukung langgengnya
penyelidikan kasus yang lemot. Masyarakat Indonesia kurang aktif dan kritis dalam
menngawasi dan berpartisipasi dalam penyelidikan. Masyarakat kita akhir-akhir
ini lebih sering terlihat acuh-tak acuh dalam menanggapi permasalahan sosial
yang terjadi. Banyak yang memilih tidak ambil pusing dan membiarkan
penyeledikan beraraut-larut hingga akhirnya tak terpecahkan.
Media yang menjadi mata, dan
mulut masyarakat juga sepertinya kurang berani mengkritisi bobroknya penegakan
hukum di Indonesia. Bukankah sudah ada kebebasan pers setelah reformasi? Namun
kenapa kebebasan pers rasanya kurang dimanfaatkan oleh masyarakat maupun media?
Masyarakat dan media akhir-akhir ini rasanya tidak jauh berbeda dari masyarakat dan media yang tidak memiliki
kebebasan pers. Padahal sebelum kebebasan pers ada, masyarakat dan media di
masa lalu seringkali justru lebih aktif dalam mengkritisi pemerintah dan hukum
walaupun secara sembunyi-sembunyi.
Adakah yang tahu alasan
sebenarnya negeri kita semakin rusak? Itu bukan karena penjahat yang semakin
banyak, tapi justru karena masyarakat semakin tidak peduli dan lebih mentingin
perutnya sendiri. Nah, sekarang tinggal pilih. Mau membuka mata, telinga, dan
hati kita, atau mau menutupnya dan membiarkan negeri kita hancur dan rata.
Kalau masih mau mewariskan negeri yang bersih dan adil kepada anak-anak kita,
sebaiknya ayo mulai buat perubahan. Jadilah panutan dan tunjukkan bahwa masih
ada di negeri ini orang yang tidak mementingkan diri sendiri. Tunjukkan pada
dunia bahwa negeri kita ini bukan negeri orang-orang egois. Buktikan pada semua
bahwa negeri ini masih bisa di perbaiki. Belum terlambat untuk mengubah negeri
kita menjadi lebih baik sebelum negeri ini membusuk bagai negeri sampah yang
hanya di huni tikus-tikus korup. Jangan menunggu terlalu lama. Tuntutlah
perubahan bangsa ini secepatnya sebelum semuanya terlambat.

U.K
Tidak ada komentar:
Posting Komentar