‘KUTU
BUKU’: MAKHLUK YANG TERANCAM PUNAH DI INDONESIA
Tingkat buta aksara di Indonesia
menurun. Sekarang tinggal tersisa 2,07% masyarakat Indonesia yang belum melek
huruf. Ini merupakan kabar gembira bagi kita semua. Namun, bukan berarti
permasalahannya selesai begitu saja. Sebab, walau banyak masyarakat Indonesia
yang bisa membaca tapi kenginan dan minat mereka untuk membaca msih sangatlah
rendah. Menurut UNESCO, minat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001%.
Artinya dari 1000 masyarakat Indonesia hanya 1 orang yang gemar membaca.
Sedangkan studi “Most Littered Nation in the World” yang dilakukan oleh Central
Connectitut State University pada Maret 2016 menunjukkan Indonesia menduduki
posisi 60 dari 61 negara dalam urusan membaca.
Memang benar saja, populasi ‘kutu
buku’—julukan yang diberikan pada seseorang yang gemar membaca—sudah sangat
jarang di jumpai di sekitar kita. Perpustakaan baik umum maupun milik sekolah
seringkali terlihat kosong dan sepi. Di waktu senggang para masyarakat
Indonesia khususnya pelajar lebih senang melakukan hal-hal tidak berfaedah
seperti updet status di media sosial. Mirisnya lagi, para pelajar sudah enggan
membaca segala jenis buku bahkan buku pelajaran karena alasan sudah ada
internet. Apa-apa tinggal klik dan pencet. Tugas sekolah tinggal copy-paste
dari google. Membaca buku hanya mereka lakukan ketika menjelang ujian atau
ulangan. Disaat liburan sekolah banyak siswa yang senang menghabiskan waktunya
tenggelam dalam dunia maya daripada mengunjungi perpustakaan atau rumah baca
yang ada di sekitarnya.
Teknologi memang memberi kita
banyak fasilitas yang mudah, instan dan cepat. Namun hal itu tidak bisa
dijadikan alasan untuk meniggalkan kebiasaan baik membaca. Banyak orang saat
ini tidak peduli lagi dengan buku. Padahal membaca buku terutama yang berbentuk
cetak terbukti bisa memberi kita beragam manfaat. Diantaranya meningkatkan
kualitas tidur dan menyehatkan performa otak.
Sayang seribu sayang, kesenangan
membaca sangatlah langka dan suit ditemukan pada kalangan masyarakat Indonesia.
Menurut survei yang dilakukan Nielsen Consumer dan Media View kuarta II tahun
2016, pada 17.000 responden anak-anak usia
10-19 tahun menunjukkan hasi 97% lebih suka menonton televisi dan 81%
memilih internet. Ada beberapa orang yang beralasan bahwa sulitnya akses buku
dan harga buku yang mahal terutama diluar pulau Jawa membuat mereka kehilangan
minat membaca. Tapi pemerintah dan swasta sendiri telah melaksanakan berbagai
program-program untuk mengatasi masalah itu. Diantaranya; Presiden RI Joko Widodo
menerbitkan kebijakan pengiriman buku gratis melaui PT Pos Indonesia setiap
tanggal 17 per bulannya. Kick Andy Fondation bersama Yayasan Agung Podoromo
Land (YAPL) juga mengadakan kegiatan berbagi buku dalam 3 tahun belakangan.
Nah, sekarang mau beralasan
apalagi? Program sudah berjalan. Bantuan sudah ada. Sekarang tinggal niat dan
semangat dari dalam kita, terutama generasi muda Indonesia untuk meningkatkan
minat membaca. Anies Baswedan berpendapat bahwa yang Indonesia perlukan
sekarang adalah gerakan (movement)
yang nyata dari dalam diri dan keluarga untuk membiasakan kegiatan membaca. Tak
ada ruginya membiasakan membaca buku. Karena membaca akan memberi kita beragam
manfaat yang nantinya dapat kita rasakan sendiri. Wawasan yang luas juga akan
membantu kita menjadi pribadi yang maju. Jadi apalagi yang kita tunggu? Mari
niatkan dalam hati dan lakukan kebiasaan membaca perlahan-lahan. Lalu tularkan
kebiasaan baik itu pada orang disekitarmu. Ayo selamatkan populasi ‘kutu buku’
yang terancam punah. Dan bersama-sama membangun Indonesia agar menjadi lebih
baik dimasa mendatang.
U.K
Tidak ada komentar:
Posting Komentar